Mandat
“Kalau mak enggak ada umur, mak pengen tempat
di sebelah kakakmu di kampung.”
Sueb memantik lagi geretan kayunya. Kembali,
dua batang kretek di sela bibir menyala. Diselingi seruput kopi hitam yang
ketiga, pikirannya membumbung tak berarah. Kadang khayal membawanya ke masa
silam, ketika banyak kambing diantar ke kandang. Semenit kemudian pindah ke
zaman di mana dia berkelana dengan gitar dari satu angkot ke angkot lain. Lalu,
seolah asap rokoknya dimantrai, itu semua menyatu di udara dan membentuk wajah
si emak. Seketika dia terbatuk. Tersedak hasil isapan puntung yang lagi
dinikmati. Buru-buru ditenggaknya kopi. Bukan lega, dia makin kewalahan.
Disengat panas, masih terbatuk-batuk, lidahnya terjulur.
Puas mengademkan lidah, Sueb bersumpah
serapah. Segala binatang dibawa-bawa. Semua disalahkan, termasuk Siti yang
membuat kopi, dua batang rokoknya yang sudah dibikin mati, dan emak. Mendadak
berhenti dia mencak-mencak. Sambil mengusap tengkuk dia singkirkan si emak.
Jangan sampai tambah kualat lantaran muka emaknya yang tadi mendadak muncul.
Namun, wajah penuh keriput dengan pipi yang kempot, ditambah sepasang kantong
mata yang kendur dan lebar, juga iris yang kehilangan warna asli, dan bibir
yang menganga kaku, menjadi sangat lekat di matanya. Bahkan pesing yang dulu
menguar dari kamar si emak turut tercium. Tidak hanya mata, hidung pun kini
ditutupnya.
Hampir sebulan sejak Sueb ditarik ke kamar emak
begitu sampai rumah. Masih mengenakan baju penuh tepung, dilihatnya emak yang megap-megap.
Langsung duduk dia di pinggir ranjang. Mengamati mata emak yang setengah
terbuka, ditelannya marah untuk Siti. Pelan, dia genggam tangan emaknya. Mungkin
sebentar lagi emak akan pergi. Mungkin sekarang emak tengah menatap malaikat
maut.
Hati Sueb sudah siap menerima, ketika
genggamannya dibalas lebih kuat. Setengah berteriak dia memanggil Siti yang diam
di ambang pintu. Saat Siti berdiri di sisi, dada emak sudah berhenti naik-turun.
Dia menatap istrinya yang lirih berucap bela sungkawa. Lalu, ke mata emaknya yang
masih setengah terbuka. Sedih mulai merayap. Satu-satunya orang tua yang
dipunya telah kembali ke Sang Pencipta. Siti berbisik, untuk memberi tahu
tetangga. Diberi waktu berdua, dia lantas membelai kepala si emak. Teringat dia
waktu hidup di desa. Berdua saja dengan emak. Juga, apa yang diinginkan emak
belakangan ini.
Emak sangat jarang meminta. Meski harta Sueb
terus bertambah, jika tidak ditanya mau apa, bibir tipisnya tetap bungkam. Sekalinya
terlontar, paling minta dibelikan ketoprak dengan bawang putih yang banyak.
Namun, sejak gerak badan sebatas kasur kapuknya, emak jadi sering mengoceh. Itu
pun hanya dengan Sueb dia mau berceloteh.
“Temani emak kali-kali, A.”
Diserbu permintaan serupa dari Siti setiap pulang,
Sueb jadi sering bertukar peran. Hampir setiap hari Siti yang beranjak ke toko
kelontong mereka di pasar, sedang dia menyuapi emak sarapan. Baru dia sadari
kala mengelap badan si emak, betapa kurus emaknya. Dulu, emak sering
menggendongnya di punggung saat keliling jual gorengan. Sekarang, jangankan ke
kamar mandi, berdiri saja tidak mampu. Bukan tanpa usaha dia mau emak sembuh.
Dari rumah sakit besar sampai dukun mereka sambangi. Namun, emak tetap sering
linglung. Dan hanya tangan, mata, mulut yang bisa bergerak bebas.
“Jum di mana?” Juga pikunnya yang sering
kumat. Sueb sudah terbiasa.
“Di kampung, Mak.” Sueb kembali mengelap
lengan emak. Sedikit tersentak dia, ketika lengan emak yang bebas memegang
tangannya.
Emak selalu anteng, saat Sueb atau Siti
membersihkan tubuhnya. Namun, kali ini emak ingin didengar. Rasa rindunya pada
Jum semakin membuncah. Anak bontotnya ini harus tahu, dia mau ketemu Jum. Mau
kembali merawat Jum. Mau temani Jum.
“Ayo, ke kampung. Mak mau lihat Jum.” Dalam
keterbatasan pelafalan inginnya, emak menyiratkan serius di mata.
Tidak hanya kali ini Sueb mendengar itu. Dua
jam lalu, ketika Siti baru naik ojek ke pasar, si emak juga ngomong mau ke
Jum. Bahkan, semalam sebelum tidur pun
emak menuturkan hal yang sama. Dia berhenti mengelap lengan emak. Berganti
tangannya mengelus punggung tangan emak.
“Iya. Nanti, kalau Emak sehat.”
Emak tampak manut. Sepasang matanya kembali
ke langit-langit; menatap kosong pada tripleks di sana. Dia tidak tahu, kalau
ada lirih yang diserukan anak bontotnya. Ada maaf yang tidak dia dengar.
Setiap emak melontarkan mau bertemu Jum, Sueb
merasa hatinya dicubit. Sebelum sakit, emak tidak pernah mengungkit lagi tentang
Jum. Kisah terakhir yang didengar adalah kakaknya itu meninggal satu jam
setelah dilahirkan. Dikuburkan di dekat pintu dapur, karena emak tidak ingin
jauh dari si sulung. Itu pun sebelum mereka pindah ke Jakarta. Sekarang, kisah
Jum bagai dongeng tanpa akhir. Dimulai dari segala usaha yang dilakukan emak
dan abah buat dapat anak, lalu kesedihan mendalam ketika Jum meninggal. Tidak
ada abah dan dia dalam tutur emak. Hanya Jum.
“Kasihan si Jum sendirian.” Ditutup emak
dengan ucapan serupa, beban di hati Sueb semakin mengimpit. Terlebih, emak
secara gamblang menambahkan ingin tempat di sebelah Jum.
“Iya. Nanti Emak bakal di sana.” Sueb
menyanggupi, meski maaf lagi-lagi di hati.
Sampai emak dimandikan, dikafani, dibawa
pakai ambulans, lidah Sueb tetap tidak bergerak mengungkap semua. Siti sudah
rajin menasihatinya. Saban waktu luang istrinya itu mendorong untuk berterus terang.
Dia tidak sanggup. Menatap wajah emak nyalinya langsung ciut. Emak sudah
berpesan sejak tidak bisa pergi jauh, dia dan Siti yang ke kampung. Menjenguk
saudara yang masih ada dan ziarah ke makam kakaknya. Namun, bukan ke kampung
tujuan mereka tiap tahun.
Sueb menyesal. Andai bulu kuduknya tidak
meremang, otot-ototnya tidak kaku, dan sekujur tubuhnya tidak disetrum hasrat
ingin terbirit-birit, rela dia bersujud di hadapan emak yang melayang. Atau
paling tidak, emak menyambanginya dengan wujud yang wajar, bukan dalam balutan
kain putih bernoda tanah di sana-sini.
Sueb ingin pasrah. Biar saja emak terus mengganggunya.
Mungkin kalau sudah bosan, emak tenang sendiri. Namun, sampai kapan? Empat
puluh hari? Seratus hari? Batinnya yang tidak kuat diteror saat dini hari.
Bosan juga dia terus mengintil Siti.
“Kenapa, A?”
Sueb tersentak. Perlahan, dibukanya mata.
Tersengal, tetapi lega. Siti berlutut di sampingnya. Dengan pelan memberi
elusan di pundak.
“Enggak bisa kayak begini terus, A.” Belum
sempat Sueb berucap, Siti sudah paham.
“Terus bagaimana?” Mendengar itu, Sueb jadi
naik darah. Dibantu Siti, dia kembali duduk di bangku kayu. “Aku sudah jelaskan
semua di kuburan emak. Sudah mohon-mohon maaf sama emak, seperti yang bapakmu
sarankan. Tapi, apa? Emak malah makin gencar bikin aku takut!” Ingin dia
mengumpat, tapi ditelan semua cercaan.
Terburu-buru guna meredam marah, Sueb minum
lagi kopi hitamnya. Panas dari kopi kembali menyengat. Sumpah serapah langsung
meluncur mulus dari mulut. Kali ini, tanpa bawa-bawa Siti.
Siti duduk di sebelah Sueb. Terhalang meja
kecil, dia condongkan badan. “Mungkin kita harus pakai cara pak Slamet, A.”
Pelan, dia ingatkan Sueb solusi terakhir mereka.
“Gila kamu!” Mata Sueb membelalak. “Kalau
tanah di rumah sana masih ada, sudah dari awal kita kubur emak di sana.
Nyatanya, itu sekarang aspal! Aspal, Ti! Lagian letak kuburan Jum juga kita
enggak tahu!” Sueb mengusap kasar wajahnya.
“Seharusnya, kita kasih tahu emak sebelum—”
“Terus kita enggak punya toko. Aku masih jadi
kuli di toko Udin dan si Arman enggak punya mainan bagus kayak sekarang!” Sueb
makin berang. Semakin kasar pula dia mengusap muka. “Sudah! Ayo, temani ke kamar mandi,” titahnya. Bahkan ke
kamar mandi dia minta ditunggui Siti.
Siti manut. Berjalan di belakang Sueb, dia lihat
punggung suaminya itu membungkuk. Tampak lesu dan kurang gairah hidup. Dia
memang tidak merasakan langsung, tetapi tetap kena efek. Sementara mengurus
Sueb layaknya bocah yang enggan pisah, anak mereka terpaksa dititipkan ke orang
tuanya di Bogor. Dia sadar, sudah turut andil. Kalau waktu itu dia bisa menahan
Sueb dan sedikit berhemat untuk modal usaha, mungkin hari ini mereka masih
bersama, dan emak sudah tenang di alam sana.
Siti tidak banyak protes, ketika harus
menunggui Sueb di depan kamar mandi atau dirongrong keinginan Sueb. Dia juga
rela tidur lebih larut untuk memastikan Sueb sudah pulas. Namun, ada kala
kantuk lebih manja menggelayut di mata. Kalau sudah begitu, kepala menempel di
bantal pun bisa langsung bablas mimpi.
Sueb tahu istrinya sangat lelah. Saat
dilihatnya Siti terlelap lebih dulu, dia tahan keinginan membuat Siti bangun.
Jika tidak ada urusan ke kamar mandi, dia masih bisa mengalihkan pikiran dengan
aktif di sosial media. Dan berharap segera terlelap.
Sueb mulai rileks sebelum tahu sudah jam
berapa sekarang. Tubuhnya mulai mepet ke tembok. Diperhatikannya Siti yang
mulai mendengkur. Enak sekali Siti bisa nyenyak. Kalau dia, pasti sekarang
sudah mulai mimpi buruk. Diubahnya posisi menjadi tengkurap, tapi hanya
sebentar. Dia ingat pernah ketindihan di posisi itu. Telentanglah dia. Salah
juga, dia pernah melihat wajah emak menyembul dari langit-langit. Menghadap
tembok, tidak bagus. Pernah ketika berbalik, ada emak di belakang Siti.
Sueb menyerah. Mungkin dia benar-benar harus
bersujud. Dia akan menekan rasa takut. Malam ini, harus dia selesaikan. Dia
akan bersujud di hadapan emak. Harus! Tekadnya
sudah bulat, tetapi saat teror mulai menyerang, sekujur badannya kaku.
Sueb hafal urutannya. Mula-mula rasa tidak
nyaman merembet hingga bulu kuduk berdiri dan pikiran dibayang-bayangi
kemunculan emak. Lalu, sekujur tubuh mati fungsi bahkan untuk memanggil Siti
dia tidak mampu. Dan yang menjadi puncak adalah ketika namanya dipanggil.
Pelan. Parau. Dan terasa jauh. Setelah itulah emak muncul.
Sueb tercekat. Emak tidak menyembulkan kepala
di langit-langit, atau berdiri di belakang Siti, atau muncul dari pintu kamar.
Kali ini, wajah emak muncul begitu saja di depan wajahnya. Sekitar sejengkal
jarak wajah mereka. Dia bisa melihat jelas keriput wajah emak, kedua mata emak
yang ditutup kapas, kedua lubang hidung emak yang disumpal kapas, dan bibir
emak yang terbuka. Jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin mulai keluar.
Lidahnya kelu. Badannya masih kaku. Dia pikir, emak akan memakannya, tetapi
emak hanya melontarkan kata demi kata. Terbata-bata emak mengatakan hal yang
tidak serupa.
“Emak enggak tanya soal Jum lagi. Dia enggak
bilang, 'mana Jum, Jum di mana?' Beda, Ti.” Sueb pelan-pelan menyeruput
kopinya. Setelah dibangunkan Siti, dia langsung minta kopi. Masih bersandar di
atas kasur, dia ucapkan semua yang dialaminya semalam pada Siti.
Siti yang belum sempat mandi langsung
melayani. Kaget juga dia melihat suaminya yang bergerak-gerak gelisah dalam
tidur. Beruntung dia mendusin, jadi Sueb bisa langsung dibangunkan. “Terus?”
Dia memijat pelan kaki suaminya.
Sebentar, Sueb menerawang. Dia mendengkus
pelan. “Emak bilang, ‘kasihan anak saya. Menderita. Kalau kita sama-sama, anak
saya pasti tenang.’ Begitu terus. Sedih banget si emak. Menurutmu apa Jum
menderita di sana?”
“Bayi enggak punya dosa, A. Tapi, mungkin Jum
sedih enggak bisa dekat sama emak. Terus, itu rambut putih siapa?”
Sueb mengikuti arah tatap Siti. Ada sejumput
rambut putih di atas meja kecil di sebelah ranjang. Dengan hati-hati dia ambil rambut itu. Pas kopi tersaji, dia
baru sadar ada rambut di sana. Semula dia diamkan. Pikirnya, rambut Siti.
Namun, diperhatikan lagi itu bukan punya Siti. Helai dalam genggamannya tebal,
tidak tipis seperti punya Siti.
“Emak.” Sueb menatap Siti. “Punya emak?”
“Mungkin, A.”
Sueb langsung menyuruh Siti mengambil plastik
untuk wadah rambut itu, sedangkan dia bersiap diri. Mandi kilat, langsung memanasi
motor. “Ke Slamet,” jawabnya waktu Siti bertanya. Tanpa menggubris Siti yang
minta ikut, dia memacu motor ke rumah kenalan yang dulu pernah menyarankan
untuk memindahkan makam si emak. Dia percaya, Slamet bisa memprediksi pertanda
yang dikirim emak. Mungkin emak sudah mau memaafkannya. Mungkin dengan sejumput
rambut dalam plastik putih di saku jaketnya ini semua akan berakhir. Emak tidak
akan menerornya lagi. Dia akan kembali tenang.
Tiba di rumah Slamet, penuh konsentrasi Sueb menyimak.
Si cenayang bilang, rambut itu adalah harta yang dimiliki emak. Sueb
membenarkan. Emak sangat menyayangi rambut, bahkan kalau tidak sakit mungkin
sudah menutupi bokong emak. Slamet melanjutkan, kalau Sueb tidak bisa
memindahkan jasad emak, Sueb bisa meletakkan rambut ini persis di tempat yang
emak mau.
Sueb bersorak dalam hati. Pikirannya sejalan
dengan Slamet. Usai Slamet membekalinya dengan sebotol air penuh doa, Sueb
langsung meluncur ke kampung halaman. Jalanan masih agak lenggang. Lampu-lampu
di sisi kiri-kanan masih menyala. Tanpa masker, Sueb bisa menghela dalam udara
yang masih terasa sejuk. Dadanya sudah plong. Sekejam apa pun si emak kalau
bersumpah dan menuntut, tapi dia tahu emak tidak akan tega pada darah daging
sendiri.
Meski sudah empat tahun tidak menjalankan
amanah emak untuk ziarah, Sueb masih mengingat jelas rute kampung mereka.
Melewati terminal Rangkasbitung, Sueb mengambil jalur kiri. Terus melaju hingga
masuk Pandeglang. Jalannya tidak lagi lurus setelah melewati perkebunan karet. Meski
berkelok-kelok, dia tetap melaju kencang. Dia ingin cepat berakhir.
Memasuki perkebunan sawit, hangat matahari
mulai merambat di sela-sela perkebunan sawit. Dulu, Sueb sering bermain di
sini. Tidak ada yang berubah kecuali jalan yang Sekarang beraspal. Seperti apa
kampungnya sekarang?
Sampai di jalan bercabang, Sueb mengambil
rute kiri. Dan sejauh jangkauan pandangnya hanya ada jalan tandus. Tidak ada
rumah, jalan tanah berbatu, dan pohon seperti dulu. Sueb tidak tahu pasti di
mana rumahnya. Pohon petai cina yang merupakan patok sudah tidak ada. Di
kejauhan hanya terdengar deru mobil konstruksi. Dia memelankan laju. Celingukan
memandang sekitar. Seketika rindu menyeruak. Apa kabar teman-teman masa
kecilnya? Terakhir mereka bertemu ketika menandatangani surat jual-beli tanah. Di
mana mereka sekarang? Yang tersisa dari masa kecilnya hanya kenangan.
Sadar apa yang menjadi tujuannya, Sueb
kembali memacu kecepatan motor. Sambil memasukkan tangan ke saku jaket, dia
berharap emak memberi petunjuk. Emak sudah mengisyaratkan lewat rambut, tinggal
di mana dia harus meletakkan itu.
Genggaman Sueb pada plastik tempat rambut
emak disimpan semakin kuat. Hatinya terus berseru minta petunjuk. Dia ingin
hidup tenang. Ingin bahagia. Ingin bebas. Tidak mau menjadi gila lantaran
dihantui terus.
Sueb terus melaju kencang, sampai seekor kucing
tiba-tiba saja melintas. Dia membanting setang ke kanan. Motornya oleng. Masih
melaju kencang, belum sempat menekan rem, keseimbangannya hilang.
Sueb mendengar bunyi yang keras. Tulangnya
serasa dipereteli. Pusing langsung menghantam keras di kepala. Dia tidak bisa
bergerak. Terkapar dengan deru mobil konstruksi di kejauhan dan samar-samar
suara emak yang memanggil di kejauhan.*
*Lilis Mariyansah, aktif dalam berbagai grup menulis dan juga tergabung dalam Teman Menulis.